Text
Asas Retroaktif Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Teori dan Praktik
Selama ini masyarakat hanya mengetahui jika putusan pengujian undang-undang di MK sifatnya prospektif (ke depan). Padahal diantara seribuan perkara yang sudah diputus MK, terdapat juga putusan yang memiliki sifat retroaktif (ke belakang/surut). Putusan yang bersifat retroaktif ini jumlahnya sangat sedikit karena untuk menghasilkan putusan ini, hakim konstitusi harus bermunajat dan mempertimbangkannya dengan sangat cermat dan penuh kehati-hatian. Hakim harus menimbang bobot keadilan dan kepastian agar seimbang. Sebab, akibat hukum putusannya tidak hanya mengikat Pemohon dan Addressat putusan saja, melainkan juga mengikat seluruh warga negara. Ditambah lagi, putusan retroaktif ini secara teoritis berpotensi menciptakan disharmoniasasi terhadap peraturan perundang-undangan.
Meskipun secara teoritis dan yuridis putusan retroaktif sebenarnya dilarang, namun bukan berarti MK tidak boleh mempraktikannya. Setiap teori pasti ada pengecualiaannya dan setiap pengecualian sudah pasti ada teori yang dasarnya. Demikian juga dengan larangan retroaktif ini yang di dalamnya ada pengecualian-pengecualian yakni karena alasan perlindungan HAM, alasan keadilan substantif, dan alasan diskresi dari hakim. Selain itu, Hakim juga harus memperhitungkan dan menggali pertanyaan pada hati nuraninya apakah dengan penerapan secara kaku larangan retroaktif justru akan menimbulkan ketidakadilan, merongrong nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum?
Menariknya, MK Indonesia bukanlah satu-satunya yang pernah mengeluarkan putusan pengujian undang-undang yang bersifat retroaktif. MK Federal Jerman dan MA Amerika Serikat sebagai salah satu ‘sesepuhnya’ MK dunia karena kerap menjadi rujukan, pernah juga mengeluarkan putusan yang bersifat retroaktif. Demikian juga dengan MK Portugal, MK Spanyol, MK Italia, MA Federal Brazil, hingga MK Afrika Selatan meskipun diberlakukan untuk kasus yang sangat terbatas.
Tidak tersedia versi lain